Dalil Pegangan Mereka :
“Ketika pulang dari satu peperangan yang dahsyat melawan kaum musyrikin, Rasulullah ﷺ bersabda yang bermaksud :
Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar. Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah ? ” Baginda berkata, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (Riwayat Al Baihaqi)
👆👆👆👆
*Pertama:*
Hadits ini tidak bisa digunakan untuk sebuah hujjah, karena al-Baihaqi berkata berkaitan dengan ini, “mata rantai dari periwayatannya adalah lemah (dha’if).”
As-Suyuti juga berpendapat bahwa aspek hukumnya lemah, hal ini beliau utarakan dalam bukunya, Jami’ As-Shaghir.
Status hadits jihaad al nafs lemah, baik ditinjau dari sisi sanad maupun matan. Dari sisi sanad, isnaad hadits tersebut lemah (dhaif). Al-Hafidz al-‘Iraqiy menyatakan bahwa isnad hadits ini lemah.
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaaniy, hadits tersebut adalah ucapan dari Ibrahim bin ‘Ablah.179 (179 Lihat Imam al-Dzahabiy, Syiar A’laam al-Nubalaa’, juz 6/ 324-325.
Di dalam kitab ini dituturkan, bahwasanya Mohammad bin Ziyad al-Maqdisiy pernah mendengar Ibrahim bin ‘Ablah berkata kepada orang-orang yang baru pulang dari peperangan (jihad), “Kalian baru saja kembali dari jihad kecil ffihaadal-ashghar), lantas, apayang kamu lakukan dalam jihad al-qalbiy.”
Al-Hafidz al-Suyuthiy juga menyatakan, bahwa sanad hadits ini lemah (dhaif)
*Kedua* :
Dari sisi matan hadits (redaksi), redaksi hadits jihaad al nafs di atas bertentangan nash-nash yang menuturkan keutamaan jihaad fi sabilillah di atas amal-amal kebaikan yang lain.
Oleh karena itu, redaksi (matan) hadits jihad al nafs wajib ditolak karena bertentangan dengan nash-nash lain yang menuturkan keutamaan jihad fi sabilillah di atas amal-amal perbuatan yang lain.
Bahkan, para ulama yang memiliki kredibilitas ilmu dan iman telah menetapkan jihaad fi sabilillah sebagai amal yang paling utama secara mutlak.
Adapun bukti yang menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah adalah amal yang paling utama adalah sebagai berikut:
Al Quran telah menempatkan jihad fi sabilillah (berperang di jalan Allah) sebagai amal yang paling utama dibandingkan amal-amal yang lain.
Allah ﷻ berfirman di dalam al Quran :
“Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khaivatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempattinggalyangkamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nja dan (dart) berjihad di jalan-Nja, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. ” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (at Taubah 24)
Di ayat yang lain, Allah swt berfirman:
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orangyang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orangyang beriman kepada Allah dan hart kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama disisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang splim.” (At Taubah 19)
Allah ﷻ juga melebihkan orang yang berangkat ke medan perang di atas orang yang tidak berangkat perang.
Al-Quran telah menyatakan hal ini:
“Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang tidak turut berperang) jang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orangyang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang jang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar; (yaitu) beberapa derajat daripadaNya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisaa’ 95-96)
Al-Quran juga menjelaskan balasan Allah ﷻ atas semua waktu dan usaha yang dihabiskan oleh seorang mujahid ketika melaksanakan kewajiban jihad, serta kesibukan dirinya dengan aktivitas jihad.
Hal ini telah dinyatakan dengan sangat jelas di dalam al-Quran;
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang- orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. SesungguhnyaAllah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkahyang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apayang telah mereka kerjakan.” (At Taubah: 120-121)
*Ketiga* :
Hadits ini (hadits tentang jihad melawan hawa nafsu) bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir yang disampaikan oleh Nabi ﷺ, yang menjelaskan tentang keutamaan jihad.
Kami akan menyebutkan beberapa diantaranya.
“Waktu pagi atau sore yang digunakan di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (Bukhari dan Muslim)
“Berdiri satu jam dalam perang di jalan Allah lebih baik daripada berdiri dalam shalat selama 60 tahun.” (shahih al-Jami’)
Abu Hurairah ra berkata,
“ Apakah ada diantara kamu yang mampu berdiri dalam shalat tanpa berhenti dan terus melakukannya sepanjang hidupnya?” Orang-orang berkata, “Wahai Abu Hurairah! Siapa yang mampu melakukannya?” Beliau berkata “Demi Allah! Satu harinya seorang mujahid di jalan Allah adalah lebih baik daripada itu.”
Pernyataan dari orang yang mengatakan bahwa “Berjuang melawan dirinya sendiri adalah jihad yang terbesar karena tiap individu mendapatkan ujian siang dan malam”, dapat disangkal dengan hadits berikut:
Dari Rasyid, dari Sa’ad r.a., dari seorang sahabat, seorang laki-laki bertanya, “ Ya Rasulallah! Kenapa semua orang-orang yang beriman mendapatkan siksa kubur kecuali orang-orang yang syahid?” Beliau saw. menjawab: “Pertarungan dari pedang di atas kepalanya telah cukup sebagai siksaan (ujian) atasnya.” (Shahih Jami’)
والله أعلمُ بالـصـواب