Maka siapa yang kitabnya adalah bukan perkataan makhluk, dan si pencari ilmu ini memiliki hati atau mau mendengarkan dan menyaksikan (tidak lalai) maka benarnya lebih banyak daripada salahnya tidak ada keraguan dalam hal itu.
Begitu pula siapa yang gurunya adalah Bukhari dan Muslim sedang ia memperoleh dari keduanya riwayat yang sampai kepada orang yang paling fasih dalam melafadhkan huruf “dhadh”, (Rasulullah) yang telah diberikan Jawami‟ Al-Kalim dan apa yang disandarkan oleh keduanya kepada sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, sebaik-baik generasi (sahabat), Radhiyallaahu „Anhum.
Begitu pula siapa yang kitabnya adalah Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnul Mundzir, atau Tafsir Ibnu Abi Hatim.
Begitu pula siapa yang kitabnya dalam beraqidah adlah As-Sunnah karya Imam Ahmad, atau putranya „Abdullah, Al-Barbahari, Al-Khillal, Ibnu Bathah, atau Harb Al-Karmani.
Begitu pula siapa yang kitabnya adalah risalah-risalah mujaddid Islam seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Al-Qayyim dan Ibnu Abdil Wahhab dan Abdurrahman bin Hasan.
Adapun jika gurunya adlah para ulama Thagut dan pelaku Bid‟ah yang sesat serta orang-orang Fasik Qo‟idduun (duduk dari jihad), biscaya salahnya akan lebih banyak daripada benarnya – kecuali yang dirahmati Allah dan sedikit sekali jumlahnya -.
Lalu bagaimana halnya jika dia mengikuti seruan mereka kepada kefajiran, Bid„ah dan murtad? Semoga Allah melindungi kita!
Penuntut ilmu tidak akan dimuliakan karena belajar kepada para ulama Thagut dan para Da‟I yang menyeru kepada kesesatan seperti Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Ibnu Jibrin, Fauzan dan Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, Al-Huwaini, Al-Adawi, dan Al-Madkhali, Al-Wadi‟a, Abu Qotadah, Al-Maqdisi, Al-Hadusyi, As-Siba‟I dan seterusnya dari golongan yang menempuh jalan seperti mereka.
Salah satu Ruwaibidhah (orang bodoh yang memimpin urusan ummat) itu telah jujur ketika berkata sedangkan ia pendusta-, “Ada sunnah yang memuji sikap kembali kepada lembaran kertas tanpa melihat kepada personal tokoh. Sunnah tersebut menjadi argumentasi kuat bagi kelompok ini.”
Sunnah tersebut adalah sabda Rasulullah kepada para sahabatnya pada suatu hari :
“Siapakah makhluk yang paling menakjubkan imannya menurut kalian?"
Mereka menjawab, “Para malaikat.” Beliau menyanggah, “Bagaimana mereka tidak beriman sedangkan mereka berada bersama Rabb mereka.”
Mereka menjawab, “Para Nabi.” Sabdanya, “Bagaimana mereka tidak beriman, sedangkan mereka diberi wahyu.”
Mereka menjawab, “Kalau begitu kami,” Beliau menyanggah lagi, ”Bagaimana kalian tidak beriman sedangkan aku berada di tengah kalian.”
Merekapun bertanya, ”Lantas siapa mereka wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, ”Mereka adalah suatu kaum yang datang setelah kalian yang hanya mendapati lembaran-lembaran (Shuhuf) lalu mengimaninya.”
Dalam lafadz yang lain, “Melainkan kaum setelah kalian yang datang kepada mereka kitab di antara dua papan (sampul) yang mereka imani dan mereka amalkan isinya. Mereka itu lebih besar pahalanya daripada kalian.”
Pada lafadz lain disebutkan, “Mereka mendapati suatu lembaran lalu mengamalkan isi kandungannya. Merekalah orang beriman yang paling utama imannya".
Hadits tersebut dengan jelas memuji metoda mengambil ilmu dari sesuatu lembaran. Bahkan kaum tersebut adalah manusia yang paling besar pahalanya dan orang beriman yang paling utama keimanannya.
Hal ini menunjukkan bahwa selamat di zaman perselisihan dan banyaknya contoh rusak pengaku ulama dengan penuh kedustaan yaitu dengan kembali kepada lembaran kertas.
TIdaklah akan membahayakan bagi orang-orang gagah itu perkataan si A dan si B tidak pula pendapat Zaid dan „Amr. Tidaklah seseorang itu berpindah jalan dari metode sar‟I pada metode Bid‟ah, kecuali karena faktor kebodohan, ketidakmampuan, atau tujuan yang rusak sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah : “Jalan ini, yaitu metode mengambil ilmu dari lembaran kertas –dan ini adalah metode syar‟i- adalah yang akan mencegah ketergelinciran seorang „Alim dari mendapatkan legitimasi sebagai bagian dari Dien yang tidak bisa diganggu gugat lagi di mata pengikutnya.”
Maka dari itu, para pencari ilmu hendaknya merenungi hadits-hadits dan atsar-atsar yang memperingatkan dari ulama sesat.
Dari Abu Dzar Radhiallaahu„Anh berkata, “Aku pernah berjalan bersama Rasulullah Shallaahu „Alaihi Wasallam, lalu beliau bersabda : “Sungguh selain Dajjal ada yang lebih aku khawatirkan atas ummatku.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Akupun bertanya,”Wahai Rasulullaah, apakah hal tersebut yang lebih engkau khawatirkan menimpa umatmu selain Dajjal?” Beliau bersabda: “Para pemimpin yang menyesatkan.” (HR. Imam Ahmad)
Bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم : “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu sekaligus dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para Ulama, hingga ketika tidak tersisa seorang „Alim pun, manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh lalu mereka ditanya (tentang suatu hal) lantas berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berkata Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu „Anhu: “Hampir tiba saatnya masa ketika Islam tinggal nama dan Al-Qur‟an tinggal tulisan. Mesjid-mesjid ramai akan tetapi kosong dari petunjuk. Para ulama mereka adalah manusia terjahat di bawah kolong langit. Dari merekalah fitnah muncul dan akan berbalik kepada mereka pula.” (HR. Baihaqi dalam Syu‟abul Iman).
Apabila para ulama telah meninggal, hingga hanya sedikit yang tersisa, tinggal yang berjaga-jaga di tapal batas, ditawan di penjara, dan terusir di goa-goa, maka menuntut ilmu kepada “para Syaikh” tidak akan dianggap mulia kecuali oleh orang yang bodoh terhadap ilmu yang mulia.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang berbuah di hati dan anggota tubuh. Ubadah bin Shamit Radhiyallaahu „Anh berkata: “Jika kamu mau, akan aku beritahu kepadamu tentang ilmu pertama yang diangkat dari manusia. Yaitu khusyu‟. Hampir-hampir tidak akan kamu dapati seorangpun yang khusyu‟ ketika kamu memasuki masjid.” (HR. Tirmidzi)
Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu „Anhu berkata : “Fakih sesungguhnya adalah orang yang tidak membuat manusia berputus asa dari Rahmat Allah, tidak mentolelir mereka dalam hal maksiat kepada Allah, tidak memberikan rasa aman kepada mereka dari adzab Allah, dan tidak meninggalkan Al-Qur‟an karena tidak menyukainya. Tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak didasari ilmu, tidak pula ilmu yang tidak disertai pemahaman dan tidak pula bacaan Al-Qur‟an yang tidak disertai penghayatan.” (HR. Ad Darimi dalam sunannya).