Dalam syariat Rabb kita telah ditetapkan bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah. Maka siapa pun yang mencari kemuliaan dan menginginkannya, hendaklah ia berpegang teguh pada jalan penghambaan kepada Allah dan menempuh jalan-Nya yang lurus. Itulah satu-satunya jalan menuju kemuliaan di dunia dan akhirat. Dialah—Subhanahu wa Ta'ala—yang memuliakan siapa yang Dia kehendaki dan menghinakan siapa yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun dari makhluk yang memiliki kuasa atas kemuliaan atau kehinaan, meskipun ia menguasai seluruh kekuatan materi, bahkan jika ia lebih kaya dari Qarun atau lebih zalim dari Fir'aun.
Dalam sejarah kita yang gemilang, kita mendapati bahwa ketika generasi awal kita berpegang teguh pada agama Allah dan menempuh jalan-Nya, mereka menjadi mulia, derajat mereka terangkat, dan berbagai bangsa tunduk di bawah kekuasaan mereka. Sebaliknya, ketika sebagian orang menyimpang dari jalan Allah dan mengikuti jalan kesesatan serta kebodohan, mereka menjadi hina dan bangsa-bangsa lain pun berani menguasai mereka.
Allah Ta'ala telah menunjukkan kepada kita dalam Kitab-Nya jalan untuk meraih kemuliaan. Dia berfirman:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
"Barang siapa menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu seluruhnya. Kepada-Nya naik perkataan yang baik, dan amal saleh Dia akan mengangkatnya."
[QS. Fathir: 10]
Maknanya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya:
"Yaitu, barang siapa yang ingin menjadi mulia di dunia dan akhirat, hendaklah ia berpegang teguh pada ketaatan kepada Allah. Dengan itu, ia akan mendapatkan tujuannya, karena Allah adalah pemilik dunia dan akhirat, dan kemuliaan seluruhnya adalah milik-Nya."
Dari ayat ini jelas bahwa jalan menuju kemuliaan adalah dengan mentaati Allah dan berserah diri kepada-Nya. Tidak ada jalan lain, sekalipun ada banyak jalan dan beragam keyakinan.
Tidak masuk akal sama sekali bagi seseorang untuk mencari kemuliaan dengan menjauh dari Allah dan meninggalkan ibadah kepada-Nya. Namun, banyak pihak di zaman ini—termasuk organisasi dan partai-partai yang murtad—berusaha meraih kemuliaan dengan bersandar kepada para thaghut. Mereka berkeliling di istana mereka dan mengikuti pertemuan-pertemuan mereka, mengejar keuntungan semu dan sisa-sisa jabatan di bawah naungan "tatanan dunia" yang kafir.
Allah telah mengungkap keadaan mereka dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ للَّهِ جَمِيعًا
"(Yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi mereka? Sesungguhnya segala kemuliaan itu milik Allah seluruhnya." [QS. An-Nisa: 139]
Betapa indah penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengenai ayat ini:
"Tujuan dari ayat ini adalah untuk mendorong manusia agar mencari kemuliaan di sisi Allah, berlindung dalam peribadatan kepada-Nya, dan bergabung dengan golongan hamba-hamba-Nya yang beriman, yang akan mendapatkan pertolongan di dunia ini serta pada hari ketika para saksi berdiri di hadapan-Nya."
Dari sini diketahui bahwa bersekutu dengan orang-orang kafir, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani, maupun pengikut mereka yang murtad, serta bersikap lunak terhadap mereka dan menempuh jalan mereka demi mencari keselamatan dan kepentingan yang hanya ilusi, hanyalah seperti fatamorgana di tanah gersang. Para pelakunya tidak akan memperoleh apa pun selain kehinaan dan kerendahan sebagai hukuman yang berlawanan dengan tujuan mereka, karena balasan itu sesuai dengan perbuatan.
Sebaliknya, Allah telah menetapkan bahwa kemuliaan dan kewibawaan hanya terdapat dalam iman kepada-Nya dan dalam kesetiaan kepada orang-orang beriman yang mengikuti manhaj kenabian dalam perkataan dan perbuatan, serta dalam mencintai, mendukung, dan memperbanyak jumlah mereka. Kemuliaan ini telah ditegaskan dalam Al-Qur'an, sebagaimana firman-Nya:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
"Dan kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahui." [QS. Al-Munafiqun: 8]
Diriwayatkan pula dari Umar bin Khattab bahwa ia pernah berkata kepada Abu Ubaidah bin Jarrah: "Sesungguhnya kita dahulu adalah kaum yang hina, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Maka kapan pun kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, niscaya Allah akan menghinakan kita." [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dinyatakan sahih].
Seorang Muslim menjadi mulia dengan berpegang teguh pada agama Allah dan mengikuti jejak Rasul-Nya. Salah satu buah dari kemuliaan ini adalah bahwa seorang Muslim akan menjadi pemberani dan tegas dalam menyampaikan kebenaran, tanpa takut celaan siapa pun dalam menjalankan agama Allah. Ia maju tanpa ragu, tidak mundur, dan tidak memperhitungkan apa pun selain Allah, karena ia yakin bahwa Allah Maha Perkasa dan tidak terkalahkan. Ia mengetahui bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu, sehingga dalam hatinya tidak ada rasa takut selain kepada Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mengalahkan.
Dengan keyakinan ini, ia memperoleh kemuliaan dan kewibawaan yang tampak pada dirinya, hingga musuh-musuhnya pun segan terhadapnya meskipun ia sendirian. Musuh-musuhnya tidak akan berani menyerangnya kecuali dengan perlindungan pesawat tempur dan barisan kendaraan lapis baja, sebagaimana yang kita saksikan dalam serangan mereka terhadap tentara kekhalifahan di berbagai penjuru, di mana mereka mengerahkan ratusan pasukan hanya untuk menyerbu sebuah gua di gunung terpencil atau sebuah tenda di padang pasir yang jauh.
Seorang mukmin yang merasa mulia karena Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya akan menghadapi kematian di jalan Allah jika dalam kematian itu terdapat keselamatan tauhidnya dan kemenangan syariat-Nya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada para penyihir Fir'aun setelah mereka beriman dan merasa mulia dengan agama mereka. Iman kepada Dzat Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa telah mengubah keadaan mereka dari para penyembah Fir'aun yang hina menjadi mukmin yang mulia di sisi Allah. Mereka tidak peduli dengan ancaman dan intimidasi Fir'aun, tetapi terus maju menuju Tuhan mereka dengan berharap dapat bertemu dengan-Nya meskipun mereka melihat kematian mereka di depan mata dan ajal mereka semakin dekat. Mereka berkata kepada Fir'aun dengan keteguhan hati yang luar biasa sebagai seorang mukmin yang bangga dengan agamanya:
قَالُوا لَا ضَيْرَ إِنَّا إِلَى رَبِّنَا مُنْقَلِبُونَ
"Mereka berkata: Tidak masalah! Sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami." [QS. Asy-Syu'ara: 50]
Seolah-olah mereka berkata, "Kami telah kafir kepadamu dan tidak lagi peduli dengan apa yang akan kau lakukan kepada kami, setelah iman telah menyentuh relung hati kami, tauhid kami menjadi murni, dan kami untuk pertama kalinya merasakan kebanggaan karena Allah serta manisnya ketaatan kepada-Nya."
Beginilah tauhid yang murni membentuk pemiliknya; ia memuliakan mereka, mengangkat nama mereka, memperindah akhir kehidupan mereka, dan menjadikan mereka berani menghadapi bahaya demi keamanan pada hari perjumpaan besar di hadapan Allah.
Di zaman kita ini, kisah tersebut berulang kembali antara sekelompok mukmin dan para thaghut yang kafir serta durhaka. Umat-umat kafir telah bersekongkol melawan Islam dan pemeluknya, sehingga Islam kembali menjadi asing sebagaimana awal kemunculannya. Orang-orang yang berpegang teguh pada agama ini pun kembali menjadi asing di muka bumi, setelah mereka membawa panji Islam dalam keadaan murni dan menolak untuk berkompromi dengan musuh-musuhnya. Mereka berdiri teguh menghadapi para thaghut dan Fir'aun zaman ini, mengingkari mereka, secara terang-terangan menunjukkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka sebagai bentuk pengamalan agama Ibrahim ‘alaihis-salam. Mereka berjihad di jalan Allah melawan siapa pun yang berusaha menghalangi mereka dari tujuan mereka, yaitu menjadikan manusia hanya menyembah Sang Pencipta dan memastikan bahwa tidak ada hukum yang berlaku di bumi selain hukum-Nya.
Maka para thaghut mengerahkan seluruh sekutu dan gerombolan mereka untuk memerangi mereka, dari kaum salibis, Yahudi, dan orang-orang munafik. Mereka datang bersama pasukan mereka yang kafir melalui darat, laut, dan udara, menginginkan hal yang sama seperti yang diinginkan oleh para Fir’aun terdahulu, yaitu memerangi tauhid dan menghapus dakwahnya. Namun, para tentara Islam tetap teguh seperti gunung yang kokoh, mereka tidak mau menyerah dalam urusan agama mereka. Mereka berjuang di jalan Allah -kami menganggapnya demikian dan kami tidak memuji mereka secara berlebihan- dan mereka mengorbankan segala yang berharga.
Apa pun yang menimpa mereka tidak merugikan mereka, karena mereka tahu bahwa akhirnya mereka akan kembali kepada Allah. Pengorbanan mereka menjadi cahaya yang menerangi jalan bagi saudara-saudara mereka setelah mereka. Dengan perjuangan itu, Allah menghidupkan kembali generasi pemuda Islam yang tidak menukar tauhid dengan kepentingan dunia, yang tidak melihat tujuan lain selain syariat Allah.
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan keimanan dan pengorbanan mereka, karena mereka hanya bergantung pada Raja Yang Maha Perkasa, berlindung kepada-Nya, dan menolak mencari perlindungan selain kepada-Nya. Mereka berpegang teguh hanya kepada tali-Nya, sehingga mereka menjadi mulia dalam hidup maupun kematian mereka. Oleh karena itu, hendaklah saudara-saudara mereka melanjutkan perjuangan setelah mereka, hingga Allah menetapkan keputusan-Nya yang pasti terjadi.
النبأ - ٤٨٤
BarakAllaahu fiikum