~ Maksud dari kaum kafir harbi adalah mereka yang tidak ada kontrak keamanan dengan kaum muslimin, baik dengan perjanjian, akad aman, atau akad dzimmah. Sedangkan maksud dari mendakwahi mereka adalah mengajak kepada Islam, kemudian (menawarkan) jizyah sebelum memeranginya. Para ahli fikih telah menetapkan bahwa dakwah kepada mereka itu ada dua jenis: dakwah haqiqiyah, dan dakwah hukmiyah, adapun
➡️ dakwah hakikiyah adalah dengan lisan sebelum memulai perang, adapun
➡️ dakwah hukmiyah yaitu menyebarnya dakwah, muncul ke permukaan, dan sampainya dakwah kepada orang-orang kafir harbi. Kemunculan dan menyebarnya dakwah itu menempati posisi dakwah haqiqiyah.
🔹Dakwah Hakikiyah🔹
~ Sifat dakwah hakikiyah adalah mengajak mereka kepada Islam ketika telah sampai di wilayah mereka. Al-Qairawani Al-Maliki berkata dalam risalahnya, “Yang lebih kami sukai adalah hendaknya tidak memerangi musuh sampai mengajak mereka kepada agama Allaah kecuali jika mereka mendahului kita baik dengan menerima Islam atau membayar jizyah, jika tidak maka mereka harus diperangi. Jizyah diterima dari mereka jika hukum-hukum kita mencapai mereka. Namun jika mereka jauh dari kita, maka tidaklah diterima jizyah dari mereka, kecuali jika mereka mau pindah ke negeri-negri kita (kaum Muslimin). Jika tidak, maka mereka harus diperangi.” (Ar-Risalah, karya Al-Qairawani)
~ Pertama-tama sekali adalah mengajak mereka kepada Islam. Islamnya mereka adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa rincian syariat-syariat.
~ Pasalnya, melaksanakan syariat-syariat Islam saat perang adalah hal yang sangat sulit. Maka wajib atas mereka masuk Islam dalam kondisi itu dan (masuk Islam) dapat diterima dengan rukun dua kalimat syahadat.
~ Imam Malik berkata, “Jika dakwah itu wajib, sesungguhnya mereka hanya diajak kepada Islam secara global tanpa menyebutkan (perincian) syariat, kecuali jika mereka menanyakannya hal itu, jelaskanlah kepada mereka.
~ Pun demikian, mereka diseru membayar jizyah secara global pula, tanpa rincian maupun batasan kecuali jika mereka bertanya tentang hal itu, maka harus dijelaskan kepada mereka.” (At-Taaj wa Al-Iklil)
~ Adapun tentang durasi dakwah, maka sebagian ulama berpendapat yaitu tiga hari berturut-turut, seperti mendakwahi orang murtad agar bertaubat tiga hari sebelum membunuhnya.
🔹Dakwah Hukmiyah🔹
~ Dakwah hukmiyah terwujud ketika orang-orang kafir mendengarkan tentang agama Islam dan apa yang diserukannya. Allaah berfirman, “Dan Al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).” (Al-An’am: 19)
~ Dalam tafsir Imam Ath-Thabari, dari Mujahid, dia berkata, Sesungguhnya dia berkata tentang firman-Nya: “Dan Al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu” yaitu bangsa Arab “dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)” yaitu non-Arab.” (Jami’ AlBayan fi Ta`wil Al-Quran)
~ Dari Ibnu Abbas tentang firman Allaah: “Dan Al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu” maksudnya adalah penduduk Makkah, “dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)” yaitu siapa saja yang Al-Quran sampai kepadanya, maka Al-Quran itu peringatan baginya.” (Jami’ Al-Bayan, karya Imam Ath-Thabari)
~ Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasannya beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini mendengar tentangku Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan tidak beriman kepada risalah yang kubawa, melainkan dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)
~ Al-Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, «Setiap orang yang dihampiri dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyeru kepada agama Allaah yang beliau diutus dengannya, namun dia tidak meresponsnya, maka sesungguhnya dia wajib dipemerangi; «supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allaah”.» (Majmu’ Al-Fatawa)
~ Para Ulama berbeda pendapat mengenai dakwah kepada orang-orang kafir sebelum perang. Di antara mereka meniscayakan dakwah secara mutlak sebelum memerangi, baik dakwah telah sampai ataupun belum ini adalah pendapat jumhur ulama’ madzhab Maliki, diantara para ulama adapula yang tidak mensyaratkan hal itu (dakwah) baik dakwah telah sampai ataupun belum.
~ Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama Malikiyah. Dan di antara mereka ada yang tidak mensyaratkan hal itu, baik dakwah telah sampai atau belum. ~ Namun yang benar berdasarkan teks-teks (pedoman) dan juga diyakini mayoritas ulama adalah bahwa dakwah sesungguhnya wajib sebelum berperang bagi orang yang belum mendengar dakwah. Sedangkan bagi yang telah mendengar dakwah maka hukumnya boleh bukan wajib.
Kami mengambil pendapat “boleh” (jaa`iz) ketimbang “dianjurkan” (mustahab) sebagai pendapat lebih sahih, karena jika sekiranya hal itu mustahab pastilah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa melakukannya. Akan tetapi dalam kebanyakan ghazwah (pertempuran), beliau meninggalkannya (dakwah).
~ Beliau langsung menyerbu tanpa berdakwah terlebih dulu, karena beliau tahu bahwa dakwah telah sampai kepada orang-orang kafir. Sedangkan lafaz mustahab itu dinukil dari sebagian ulama.
➡️ Dalil-Dalil Pihak Yang Mewajibkan Dakwah Sebelum Perang Bagi Orang yang Belum Mendengar Dakwah Ibnu Qudamah mengatakan, “Dan jika berada di Aljazair yang jauh, dakwah belum sampai kepada orang itu, maka wajib mendakwahinya, berdasarkan firman Allaah: ‘Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.’” (Al-Kafi fi Fiqh Al-Imam Ahmad)
~ Ayat ini dipahami berdasarkan keumumannya, maka maksud dari mengazab itu adalah di akhirat dan juga mengazab dengan perang melalui tangan orang-orang beriman, sebagaimana firman Allaah: “Perangilah mereka, niscaya Allaah akan mengazab mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu.” (At-Taubah: 14)
~ Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini untuk syarat berdakwah sebelum perang.
~ Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, dia berkata, “Dulu Rasulullah, apabila mengangkat amir untuk sebuah pasukan atau sariyah, beliau mewasiatkan kepadanya secara khusus untuk bertakwa kepada Allaah, dan mewasiatkan kebaikan kepada kaum muslimin yang bersamanya. Kemudian beliau bersabda, ‘Berperanglah dengan menyebut nama Allaah, di jalan Allaah. Perangilah orang yang kafir kepada Allaah, berperanglah kalian dan janganlah berlebihan, janganlah berkhianat, memutilasi, dan janganlah membunuhi anak-anak.
~ Dan apabila engkau bertemu musuhmu dari kaum musyirikin, maka serulah mereka kepada tiga perkara, manakah salah satu darinya yang mereka penuhi maka terimalah, dan tahanlah dirimu dari mereka.
~ Kemudian serulah mereka kepada Islam, jika mereka menjawab (seruan)mu, maka terimalah dari mereka, dan tahanlah dirimu dari (memerangi) mereka.
~ Kemudian serulah mereka untuk berpindah dari negeri mereka menuju negeri kaum Muhajirin.
~ Dan kabarkan kepada mereka bahwa jika mereka melaksanakannya, maka mereka memiliki hak seperti para Muhajir, dan memiliki kewajiban yang sama dengan Muhajirin.
~ Namun jika mereka menolak untuk pindah dari negeri mereka, maka kabarkan kepada mereka bahwasannya kedudukan mereka sama seperti kaum muslimin Arab Badui, hukum Allaah atas kaum beriman berlaku atas mereka. Mereka tidak memiliki bagian dari ghanimah maupun fai sedikitpun, kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Namun jika mereka menolak, maka tuntutlah mereka membayar jizyah, jika mereka memenuhi (tuntutan)mu maka terimalah dari mereka, dan tahanlah dirimu, namun jika mereka menolak maka mintalah bantuan kepada Allaah dan perangilah mereka.’” (HR. Muslim)
~ Dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya mendahulukan dakwah menuju Islam sebelum perang bagi orang yang dakwah belum sampai kepadanya.
~ Dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi satu kaum pun kecuali setelah mendakwahi mereka.” (HR. Imam Ahmad)
~ Imam Al-Bukhari menjelaskan di dalam Shahih-nya (Bab: Mendakwahi Yahudi dan Nasrani dan Atas Dasar Apa Mereka Diperangi, Surat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Kisra dan Kaisar, dan dakwah sebelum perang). Ketika kami berpendapat wajibnya mendakwahi orang yang dakwah belum sampai kepada mereka, maka sesungguhnya kewajiban ini terikat oleh dua hal. Pertama, mereka tidak terlebih dulu memerangi kaum muslimin. Kedua, jika mereka berada di tempat (di mana kaum muslimin) aman dari makar dan tipu-daya mereka.
🔹Adapun dakwah yang hukumnya boleh, dalil-dalilnya🔹
~ Dari Abu Hazim, dia mengatakan, “Sahl bin Sa’ad h mengabarkan kepadaku, dia berkata, ‘Nabi bersabda pada hari Perang Khaibar, ‘Sungguh besok aku akan memberikan panji kepada seseorang yang melalui kedua tangannya akan diberi kemenangan, dia mencintai Allaah dan Rasul-Nya, Allaah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Maka manusia melewatkan malam mereka sembari memikirkan siapa di antara mereka yang akan diberi panji. Pada pagi harinya, masing-masing dari mereka mengharapkannya, kemudian beliau bertanya, “Di mana Ali?” Dikatakan bahwa dia sedang sakit mata, beliau lalu meludah ke kedua matanya dan mendoakannya, maka dia pun sembuh seakan tidak pernah sakit. Kemudian beliau memberikan panji itu kepadanya, lantas dia bertanya, “Aku perangi mereka hingga menjadi seperti kita?” Beliau bersabda, “Perlahan-lahan sampai engkau masuk ke tempat mereka, kemudian ajaklah mereka kepada Islam, dan kabarkan apa yang wajib atas mereka. Maka demi Allah, seandainya salah seorang laki-laki mendapatkan hidayah disebabkan engkau, maka itu lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta merah.” (Muttafaq ‘Alaihi)
🔹Di antara dalil pihak yang berpendapat disyariatkannya perang langsung terhadap orang yang tersampaikan dakwah Islam sebelumnya🔹
~ Hadits riwayat Al-Bukhari dari Anas, bahwa dia berkata, “Dulu Rasulullah ketika hendak memerangi suatu kaum, tidaklah beliau menyerang sampai (menunggu) waktu pagi. Jika beliau mendengar azan, beliau menahan diri. Namun jika tidak mendengar azan, beliau menyerbu setelah pagi tiba.” (HR. Al-Bukhari)
~ Hadits ini menjadi dalil bolehnya perang sebelum mendakwahkan Islam kepada orang yang telah tersampaikan dakwah, sebagaimana dikatakan ahli ilmu.
~ Dari Ash-Sha’b bin Jutsamah, dia menceritakan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. ditanya tentang anak-anak dan wanita kaum musyrikin? Mereka bermalam dan membunuh dari kaum wanita dan anak-anak mereka, maka beliau bersabda, “Mereka itu bagian dari mereka.” (HR. Muslim)
~ Ahli ilmu menyatakan, di dalam hadits ini menerangkan bolehnya menyerang kaum kafir tanpa memberitahu mereka terlebih dulu. Sungguh Nabi menyerbu Bani Musthaliq padahal mereka dalam keadaan lalai dan ternak mereka sedang diberi minum.
~ Demikian pula dengan operasi ightiyal (membunuh dengan tipu daya, Edt.) yang dilakukan oleh para Sahabat dalam membunuh kaum Yahudi.
~ Di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Al-Bara bin ‘Azib h, dia berkata, “Rasulullah mengirim sekelompok orang dari Anshar menuju Abu Rafi’. Lalu Abdullah bin ‘Atik memasuki rumahnya pada malam hari, kemudian membunuhnya di saat dia tidur.” Secara tekstual, kisah itu menunjukkan tidak adanya persyaratan dakwah sebelum perang bagi orang yang tersampaikan dakwah, dan dari hadits ini disusun bab berjudul ‘Bab: membunuh musyrik yang sedang tidur’.
~ Demikian pula hadits dalam Ash-Shahihain, dari Jabir bin Abdullah mengatakan, Rasulullah bersabda, “Siapakah yang bersedia membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf, sesungguhya dia telah menyakiti Allaah dan Rasul-Nya.” Maka bangkitlah Muhammad bin Maslamah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin aku membunuhnya?” Beliau menjawab, “Iya.” Dia berkata, “Maka izinkanlah aku mengatakan sesuatu.” Beliau menjawab, “Katakanlah.” Al-Bukahri telah membuat bab untuk hadits ini, yaitu ‘Bab: Menyerang Kafir Harbi’.
~ Dan ini adalah dalil bahwa dakwah sebelum perang tidak menjadi syarat bagi siapa saja yang telah tersampaikan dakwah kepada mereka.
~ Dari Abu Utsman An-Nahdi, salah seorang tabiin senior, dia berkata, “Dulu kami berperang, terkadang kami mendakwahi dan terkadang tidak mendakwahi.” (Syarh Ma’ani Al-Atsar).
~ Dan ini adalah teks bahwa para Sahabat pernah melakukan dua perkara itu; mendakwahi sebelum perang dan tidak mendakwahi. Yang menjelaskan bahwa dakwah bukanlah satu syarat dalam memerangi siapa saja yang telah tersampaikan dakwah sebelumnya. “Ahli Kitab Dan Majusi diperangi tanpa didakwahi, karena dakwah telah sampai kepada mereka.” (Mukhtashar Al-Kharaqi)
~ Mayoritas ahli ilmu dan para imam berpendapat wajibnya dakwah sebelum perang hanyalah ketika permulaan Islam. Adapun setelahnya, dakwah Islam telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, maka tidaklah wajib berdakwah sebelum berperang, dan hal ini diriwayatkan Imam Muslim di dalam Shahih-nya, dari Ibnu ‘Aun, dia berkata, “Aku menulis surat kepada Nafi’ untuk bertanya kepadanya tentang dakwah sebelum berperang, dia mengatakan, maka dia menulis untukku, ‘Sesungguhnya hal itu terjadi pada permulaan Islam, sungguh Rasulullah telah menyerang Bani Mushtaliq saat mereka tengah lalai, dan ternak mereka masih diberi minum. Beliau membunuh para pejuang mereka, menawan wanita mereka, pada hari itu beliau mendapatkan Juwairiyah binti Al-Harits.”
~ Imam Asy-Syafi’I berkata, “Aku tidak mengetahui seorang pun yang dakwah belum sampai kepadanya hari ini, kecuali dia menjadi bagian umat dari kaum musyrikin dengan berada di belakang musuh kami yang diperangi.
~ Barangkali belum tersampaikan dakwah kepada mereka itu sepertinya mereka berada di belakang bangsa Romawi, Turki, atau Khazar, bangsa yang tidak kami kenali.” (Al-Umm)
~ Jika kita menetapkan adanya orang yang belum pernah mendengar tentang Islam, lalu diwajibkan mendakwahinya sebelum perang, namun kenyataan kita hari ini bahwa dunia begitu berdekatan serta kecil, dan seluruh dunia memerangi Daulah Islam.
~ Maka sangat tidak mungkin jika masih ada orang yang belum mendengar tentang Islam atau dakwah belum sampai kepadanya.
~ Jika Imam Ahmad dan Imam Syafi’i saja telah menetapkan bahwa dakwah telah sampai kepada setiap orang pada masa mereka berdua, maka terlebih lagi dengan realita kita masa ini.
🔹Hukum Memerangi Orang yang Belum Tersampaikan Dakwah Kepadanya🔹
~ Seandainya kaum muslimin memerangi suatu kaum yang belum tersampaikan dakwah kepada mereka, kemudian mereka dbunuh, maka jumhur ulama menetapkan tidak ada kewajiban bagi mereka baik berupa diat maupun kafarat, karena kekafiran menghalalkan darah. Hanya saja, mereka berdosa karena meninggalkan kewajiban dakwah yang telah diperintahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang yang belum tersampaikan dakwah kepadanya. Sahnun Al-Maliki mengatakan, “Apabila kaum muslimin memerangi suatu kaum yang belum tersampaikan dakwah kepada mereka, dan kaum muslimin tidak mendakwahi mereka (terlebih dulu) maka tidak ada kewajiban bagi kaum muslimin berupa diat maupun kafarat.” (At-Taj Al-Iklil)
~ Al-Marghinani Al-Hanafi berkata, “Jika (kaum muslimin) memerangi mereka sebelum didakwahi maka berdosa karena terlarang. Namun tidak ada denda dikarenakan tidak adanya al-’ashim (faktor terjaganya darah, Penj.) yaitu agama ataupun berdiam diri di rumah, maka jadi seperti membunuh wanita dan anak-anak.” (Al-Hidayah Syarh Bidayah Al-Mubtadi)
~ Namun Imam asy-Syafi’i menyelisihi hal itu, sedangkan pendapat yang shahih dalam masalah ini adalah qaul Jumhur ahli Ilmu.
Dua Catatan:
➡️ Pertama, semua hadits tentang hukum-hukum mendakwahi kaum kafir harbi sebelumnya dan rincian kondisinya hanyalah berlaku dalam perang ofensif. Yaitu ketika kaum muslimin menyerang orang-orang kafir di negeri mereka.
~ Adapun dalam perang defensif yaitu ketika orang-orang kafir menyerang kaum muslimin di negeri Islam, maka secara aksiomatis, pendapat yang tepat adalah gugurnya dakwah. Karena kaum kafir dalam kondisi ini, merekalah yang menyerang bukan diserang.
~ Imam Malik mengatakan, “Adapun orang yang telah mendekati jalanan (masuk ke negeri kaum muslimin, Penj.) maka saat itu dakwah dikesampingkan, dikarenakan mereka telah mengetahui apa yang akan didakwahi, sedangkan mereka berada di atas kebencian serta permusuhan terhadap agama dan para pemeluknya, mereka juga selalu melawan dengan pasukan serta memerangi kaum muslimin.” (Al-Mudawwanah AlKubra)
~ Perkataan Imam Malik di atas konteksnya adalah orang-orang kafir yang sedang bergerak dan mendekati negeri-negeri kaum muslimin dengan tujuan berperang. Maka terlebih lagi dengan orang yang telah memasuki negeri-negeri kaum muslimin dan bermaksud untuk menjajahnya. Yahya bin Sa’id berkata, “Kaum muslimin wajib untuk tidak menyerang seorang musuh pun yang berada di dalam benteng, jika mereka adalah orang-orang yang diharapkan dapat menerima dakwah, maka mereka harus berdakwah.
~ Adapun terhadap orang yang jika engkau duduk di negrimu lalu mereka mendatangimu, jika engkau menghampiri maka mereka memerangimu, maka sesungguhnya mereka itu tidak perlu untuk didakwahi.” (Al-Mudawwanah Al-Kubra)
~ Pun demikian jika mereka lebih dulu memerangi, ketika kaum muslimin tiba di negeri-negeri, mereka maka saat itu kewajiban dakwah telah gugur dan mereka langsung diperangi. Maka apatah lagi jika mereka mendahului memerangi kita di negeri-negeri kita, maka kondisi ini lebih meniscayakan tidak adanya dakwah untuk mereka.
~ Imam Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya kaum muslimin mendakwahi orang-orang kafir kepada Islam sebelum perang, ini adalah wajib jika dakwah belum sampai kepada mereka, dan hukumnya mustahab (dianjurkan) jika dakwah telah sampai kepada mereka. Hal demikian berlaku jika kaum muslimin yang akan menyerang orang-orang kafir. Adapun jika apabila orang-orang kafir yang menyerang kaum muslimin di negeri-negeri Islam, maka mereka berhak untuk memerangi kuffar tanpa berdakwah (lebih dahulu) karena mereka sejatinya membela diri dan menjaga kehormatan mereka dari kaum kuffar.” (Ahkam Ahli Adz-Dzimmah)
➡️ Catatan kedua, pembahasan sebelumnya tentang hukum hukum dakwah sebelum perang, sesungguhnya hanya dalam konteks memerangi orang-orang kafir asli, bukan selain mereka dari kalangan orang-orang kafir murtad. Ini mengingat, orang murtad dulunya adalah bagian dari pemeluk Islam, maka sampainya dakwah kepadanya adalah suatu hal yang niscaya, maka hukumnya seperti hukum kafir harbi yang mana dakwah telah sampai kepadanya. Orang murtad tidak terlepas dari dua kondisi Kondisi pertama, dia di posisi maqdur ‘alaihi (dalam penguasaan, Edt.).
~ Al-Imam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Makna penguasaan atas mereka: kemampuan menimpakan hukuman hadd atas mereka dikarenakan adanya bukti kuat, atau adanya pengakuan, dan kondisi mereka ada dalam genggaman kaum muslimin.” (Ash-Sharim Al-Maslul)
~ Dalam kondisi ini, sesungguhnya jumhur ulama berpendapat wajibnya meminta pertaubatan (istitabah) mereka sebelum dibunuh, jika mereka mau bertaubat. Dan jika tidak mau, maka mereka harus dibunuh.
~ Al-Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan terkait orang-orang murtad mesti dibedakan antara riddah mujarradah, maka dia dibunuh kecuali jika bertaubat, dan antara riddah mughallazhah, maka dia dibunuh tanpa diminta pertaubatan.” (Majmu’ Al-Fatawa)
Kondisi kedua, mereka (murtadin) membangkang dengan menggunakan kekuatan dan senjata atau berada di Darul Harbi yaitu setiap negeri yang di dalamnya diberlakukan hukum-hukum selain hukum Islam, maka tidaklah wajib meminta pertaubatan mereka. Al-Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Seorang murtad, jika dia membangkang yaitu dengan bergabung ke Darul Harbi atau orang-orang murtad memiliki senjata dan menolak hukum Islam dengan menggunakan senjatanya, maka sesungguhnya tanpa ada keraguan, dia dibunuh sebelum istitabah.” (Ash-Sharim Al-Maslul)
# ➡ Riddah mujarradah adalah kemurtadan yang dilakukan seseorang tanpa disertai kontribusi dari dirinya untuk memerangi kaum muslimin (Edt.) ➡️Riddah mughallazhah adalah kemurtadan yang dilakukan seseorang dengan disertai kontribusi dalam memerangi kaum muslim