Nabi kita telah memberitahu kita bahwa di akhir zaman, bid’ah akan banyak, sunnah akan mati, agama akan menjadi asing, dan dunia hanya akan semakin menjauh dari kebaikan.
Saat itu, yang ma’ruf (kebaikan) akan dianggap mungkar, dan yang mungkar akan dianggap ma’ruf. Jumlah orang-orang yang berpegang pada kebenaran akan sedikit, tetapi meskipun mereka minoritas, mereka tidak akan dirugikan oleh orang-orang yang meninggalkan mereka, hingga datang ketetapan Allah.
Mereka akan mendapat pahala yang besar, dan Nabi ﷺ menggambarkan bahwa keadaan agama di akhir zaman akan kembali seperti ketika ia pertama kali muncul—asing dan hanya diikuti oleh segelintir orang. Nabi ﷺ bersabda:
"Islam bermula dalam keadaan asing, dan ia akan kembali menjadi asing sebagaimana ia bermula. Maka beruntunglah orang-orang yang asing."
Kemudian, dalam beberapa hadis lain, Nabi ﷺ bahkan memberikan keutamaan kepada mereka yang hidup di akhir zaman dibandingkan dengan generasi awal.
Hal ini, menurut Allah yang lebih mengetahui, disebabkan oleh besarnya manfaat mereka, sulitnya kondisi yang mereka hadapi, banyaknya musuh yang memusuhi mereka, dan sedikitnya penolong mereka.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa akan datang suatu masa di mana seseorang yang berpegang teguh pada agamanya akan seperti menggenggam bara api.
Kesulitan inilah yang menyebabkan besarnya pahala mereka. Semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam dan sunnah, serta menghidupkan dan mematikan kita di atasnya.
Yang mengherankan adalah bahwa para pengikut bid’ah menganggap banyaknya jumlah mereka, besarnya kekayaan dan kedudukan mereka, serta tampaknya kemenangan mereka sebagai bukti kebenaran mereka.
Mereka juga menganggap sedikitnya jumlah orang yang berpegang pada sunnah, keterasingan mereka, dan kelemahan mereka sebagai bukti kesalahan mereka.
Padahal, Nabi ﷺ telah mengabarkan bahwa di akhir zaman, orang-orang yang berada di atas kebenaran memang akan sedikit dan asing, sementara para pengikut bid’ah akan banyak dan mendominasi.
Mereka mengikuti cara berpikir kaum terdahulu yang menolak nabi-nabi mereka dengan alasan bahwa pengikut nabi hanya terdiri dari orang-orang lemah dan miskin. Sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Nabi Nuh:
"Kami tidak melihat kamu, kecuali hanyalah manusia seperti kami, dan kami tidak melihat pengikutmu, kecuali orang-orang yang hina di antara kami yang bertindak tanpa berpikir panjang, dan kami tidak melihat ada keutamaan apa pun pada kalian, bahkan kami menganggap kalian sebagai orang-orang pendusta." (Hud: 27)
Begitu juga dengan kaum Nabi Saleh, sebagaimana yang difirmankan Allah:
"Berkatalah para pembesar yang menyombongkan diri dari kaumnya kepada orang-orang yang dianggap lemah, yaitu orang-orang yang telah beriman: 'Apakah kalian yakin bahwa Saleh adalah seorang yang diutus oleh Tuhannya?' Mereka menjawab: 'Sesungguhnya kami beriman kepada apa yang telah dia bawa.' Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: 'Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kalian imani.'" (Al-A'raf: 75-76)
Demikian pula, kaum Nabi Muhammad ﷺ berkata:
"Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak, dan kami tidak akan diazab." (Saba’: 35)
Allah juga berfirman:
"Dan demikianlah Kami menguji sebagian mereka dengan sebagian yang lain, agar mereka berkata: 'Apakah mereka (yang lemah itu) orang-orang yang telah Allah beri nikmat di antara kita?'" (Al-An’am: 53)
"Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: 'Jika (agama Islam) itu baik, tentu mereka tidak akan mendahului kami dalam (memeluknya).'" (Al-Ahqaf: 11)
Namun, mereka lupa firman Allah:
"Dan mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia itu dibandingkan dengan akhirat hanyalah kesenangan yang sedikit." (Ar-Ra’d: 26)
Allah juga memerintahkan kita untuk bersama dengan orang-orang yang beribadah dengan ikhlas, dan tidak tergoda oleh gemerlap dunia:
"Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari dengan mengharap wajah-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) menginginkan perhiasan kehidupan dunia, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta mengikuti hawa nafsunya dan keadaannya pun melewati batas." (Al-Kahfi: 28)
Suatu ketika, Kaisar Romawi, seorang kafir, pernah menanyakan tentang Nabi ﷺ. Ia bertanya kepada Abu Sufyan: "Apakah pengikutnya dari kalangan orang-orang kuat atau orang-orang lemah?" Abu Sufyan menjawab: "Pengikutnya adalah orang-orang lemah." Kaisar berkata: "Mereka itulah pengikut para rasul di setiap zaman."
Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa ketika Allah berbicara langsung kepada Nabi Musa, Dia berfirman:
"Wahai Musa, janganlah engkau terpesona dengan perhiasan Firaun dan apa yang telah Kuberikan kepadanya. Jika Aku menghendaki, Aku bisa memberimu dan Harun kekayaan yang akan membuat Firaun sadar bahwa kekuasaannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kalian. Tetapi Aku menjauhkan dunia dari kalian dan menjauhkannya dari para wali-Ku. Aku selalu melindungi mereka dari dunia, sebagaimana seorang gembala yang penyayang melindungi hewan ternaknya dari padang rumput yang berbahaya. Aku menjauhkan mereka dari kenikmatan dunia agar mereka bisa mendapatkan bagian mereka di akhirat dengan sempurna, tanpa dunia yang merusak hati mereka dan hawa nafsu yang menyesatkan mereka."
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah masuk ke dalam rumah Nabi ﷺ. Ia melihat di dalamnya hanya ada tiga lembar kulit binatang sebagai tempat tidur, dan Nabi ﷺ berbaring di atas tikar yang meninggalkan bekas di tubuhnya. Umar berkata: "Wahai Rasulullah, sementara engkau dalam keadaan seperti ini, Persia dan Romawi yang tidak menyembah Allah memiliki dunia dan segala isinya!" Maka Nabi ﷺ pun duduk dengan wajah memerah lalu berkata:
"Apakah engkau ragu, wahai Ibnu Khattab? Apakah engkau tidak rela bahwa mereka mendapatkan dunia sementara kita mendapatkan akhirat?"
Inilah makna hadis tersebut. Semoga Allah meneguhkan kita dan kalian di atas Islam dan sunnah, menjauhkan kita dari kekafiran dan bid’ah, serta menjadikan iman sesuatu yang kita cintai.
(Dikutip dari "Al-Munazharah fi Al-Qur'an" karya Ibn Qudamah Al-Maqdisi – rahimahullah).